Menyoal Meta Komunikasi Politik, Oleh : Gunawan Witjaksana

Suaracaraka.com, Semarang Jawa Tengah – Di jagat Maya, makin dekat dengan tahun politik, makin banyak pernyataan dan analisis kejadian politik, yang dilakukan baik oleh para kandidat dan tim suksesnya, para simpatisan, hingga kaum cerdik cendekiawan.
Sayangnya berbagai lontaran yang terblow- up di media konvensional atau pun media baru, utamanya yang bersifat audio visual misalnya berbagai poadcast, tidak banyak yang didasari serta didukung oleh data, dan lebih banyak yang berupa asumsi, yang setelahnya justru banyak yang analisisnya tidak tepat.
Memang hampir tidak mungkin membendung berbagai lontaran serta opini melalui media baru, yang meski sifatnya pandang dengar, namun belum tercover oleh UU Penyiaran atau UU Pers. UU ITE pun rasanya sulit untuk menjangkaunya, karena ketertinggalannya dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi.
Dalam benak para pembuat informasi serta opini, mungkin maksudnya ingin melakukan meta komunikasi politik. Namun karena kebanyakan mereka tidak memahami kondisi aktual audience nya, maka banyak terjadi mis komunikasi, bahkan bisa juga terjadi diskominikasi, yang sangat fatal dampaknya.
Kita tentu ingat Pilkada DKI tahun 2017 yang melahirkan diskominikasi, yang dampaknya belum hilang hingga saat ini.
Tentu kita semua tidak ingin hal itu terulang pada pemilu tahun 2024 yang akan datang.
Karena itu, hal yang wajib kita renungkan bersama adalah tidakkah sebaiknya pengguna media memperhitungkan kekuatan media beserta dampak ketika disalahgunakan?
Selanjutnya bila pengguna tetap ingin melakukan meta komunikasi politik, tidakkah sebelumnya perlu difahami keinginan aktual audience , sehingga pesan yang disampaikan tepat sasaran dan sekaligus fungsional?

Hindari Asumsi dan Hoax
Kita ambil contoh aktual kritik Bacapres Anis Baswedan terkait dugaan adanya titipan kanan kiri pada PSN. Dari sisi meta komunikasi politik, tentu agar audience mencernanya, selanjutnya percaya, dan akhirnya mengurangi kredibilitas pemerintah.
Namun, karena kritikan itu tidak disertai data, maka selanjutnya dibantah baik oleh Presiden dan Bacapres Ganjar Pranowo, dengan menantangnya menunjukkan datanya, sekaligus siapa penitipnya.
Selanjutnya, karena yang ke dualah yang lebih dominan, justru meta komunikasi politik yang dilakukan menimbulkan efek bumerang bagi pelontar pertama. Sedang bagi masyarakat awam, kebingunganlah yang terjadi.
Meta komunikasi politik yang lain pun terus banyak bertebaran, sehingga selain membingungkan akar rumput, yang dikhawatirkan terjadinya konflik horizontal yang tentu sangat tidak diharapkan.

Memaksimalkan Fungsi
Menggunakan meta komunikasi politik sejatinya cukup tepat dan bagus. Syaratnya tentu komunikator perlu mengetahui kepentingan serta kebutuhan aktual masyarakat calon pemilih.
Contoh kongkrit menangnya Jokowi- Ahok di pilkada DKI dengan mengusung pesan Jakarta Baru, karena saat itu warga DKI memang butuh atau ingin Jakarta Baru.
Demikian pula dengan kemenangan SBY di periode dua yang mengusung pesan lanjutkan, karena saat itu calon pemilih butuh kepemimpinan SBY dilanjutkan, karena itulah persepsi mereka saat itu.
Singkatnya, saat ini penggunaan meta komunikasi politik dengan skala kecil banyak terlontar di media. Sayangnya para pelontar tidak menggunakan kebutuhan aktual masyarakat sebagai pijakan, melainkan hanya sekedar asumsi atau pun persepsi masyarakat menurut persepsi pelontar ( percieved needs), bahkan tidak jarang menggunakan informasi hoax sebagai pijakannya.
Tentu hal tersebut sangat tidak diinginkan pada calon pemimpin bangsa, dan para pendukungnya pun tanpa reserve harus mengerti dan mendukungnya.
Akhirnya kita tentu berharap iklim komunikasi politik melalui media makin apik, menarik, bergembira ria dan tidak saling menyerang. Semuanya itu tentulah hanya karena satu tekat, demi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si
Dosen Ilmu Komunikasi USM

Editor : Hedy Rahmad, MH.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *