Oleh : Drs. H. Gunawan Witjaksana, M.Si
Dosen Tetap Ilmu Komunikasi Universitas Semarang
Suaracaraka.com, Semarang Jawa Tengah – Pandemi covid-19 di Indonesia belum berakhir. Data secara nasional menunjukkan masih adanya orang yang baru terpapar dan meninggal.
Meski jumlahnya terus menurun, namun indikator itu menunjukkan bahwa covid-19 masih ada. Bahkan telah terdeteksi varian omicron yang menimpa salah satu tenaga kebersihan Rumah Sakit Wisma Atlit.
Di sisi lain, karena makin turunnya level di berbagai wilayah sehingga pelonggaran dilakukan, menyebabkan sebagian masyarakat beranggapan seolah Pandemi covid-19 di Indonesia telah berakhir, sehingga secara kasat mata kondisi lalu lintas kembali seperti normal. Mal- mal, Restoran, serta tempat- tempat umum lainnya kembali ramai. Bahkan beberapa di antaranya, utamanya tempat- tempat hiburan sampai ada yang terpaksa dibubarkan serta ditutup sementara oleh petugas.
Melihat, kenyataan tersebut nampak adanya indikasi terjadinya komunikasi disfungsional yang menyebabkan terjadinya salah informasi ( misinformation).
Di satu sisi pemerintah berdasarkan data menurunkan level di wilayah tertentu dengan tujuan kegiatan masyarakat bisa dilonggarkan , sehingga sektor ekonomi mulai mengalami perbaikan. Namun, justru sebagian mengartikannya kondisi sudah aman, sehingga masyarakat bebas kembali, termasuk melepas masker.
Pertanyaannya, upaya apa yang perlu dilakukan, agar masyarakat tidak salah persepsi dan berpartisipasi aktif melakukan protokol kesehatan( prokes) serta vaksinasi, demi keberhasilan merubah Pandemi covid-19, menjadi endemi?
Faham Manfaat
Dalam bahasa sosiologis, masyarakat akan berpartisipasi aktif dalam sebuah kegiatan ( termasuk mengatasi Pandemi covid-19), manakala mereka mengerti manfaat kegiatan tersebut bagi mereka, utamanya sebagai individu. Dengan demikian menunjukkan pentingnya prokes dan vaksinasi, sekaligus manfaatnya bagi setiap individu, perlu terus menerus dan kontinyu dilakukan.
Hal tersebut perlu dilakukan, karena berbagai himbauan, termasuk yang dilakukan pemerintah lewat berbagai media, baik menyangkut pentingnya kewaspadaan, hingga mengikuti prokes, mereka anggap sebagai kewajiban pemerintah, sehingga mereka tidak peduli.
Ketidakpedulian mereka diperkuat dengan adanya kesalahan persepsi terkait penurunan level, sehingga mereka beranggapan kondisi telah normal kembali.
Bahkan di berbagai wilayah utamanya di wilayah pedesaan, orang punya hajat seolah normal, sehingga prokes, utamanya penggunaan masker dan jaga jarak hampir tidak tampak, sehingga tamu dari luar wilayah yang taat prokes, seolah jadi tampak asing serta serba salah.
Karena itu, mengingatkan kembali terhadap kondisi kolabs baik di rumah sakit, kelangkaan oksigen, hingga banyaknya korban pada gelombang dua lalu, perlu ditekankan kembali, sehingga model fear arrousing sebagai salah satu metode persuasif mampu menjadi pengingat yang cukup efektif.
Contoh
Menyadarkan serta memartisipasikan masyarakat, kita tentu ingat salah satu kalimat bijak dari Ki Hajar Dewantara, ” hing ngarso sung tuladha”.
Pemberian contoh dari para pemuka masyarakat dalam berdisiplin melaksanakan prokes, dipandang masih cukup efektif.
Penghargaan yang diberikan kepada para pemuka masyarakat, akan menyebabkan mereka menjadi segan dan selanjutnya mengikuti apa yang dilakukan.
Dari sisi komunikasi, model komunikasi dua langkah seperti itu masih cukup efektif, terutama di wilayah- wilayah yang masih sangat menghargai peran dari para pemuka masyarakat.
Dengan demikian, sembari memberi keteladanan, para pemuka masyarakat pun akan efektif pula dalam menyampaikan informasi terkait manfaat keikutsertaan aktif serta bersama- sama sekaligus kompak serta serentak dan bahu membahu memutus mata rantai penyebaran covid-19, dengan varian apa pun.
Penulis : Drs. H. Gunawan Witjaksana, M.Si
Dosen Tetap Ilkom USM
Penyunting : Alviana Eka S