Suaracaraka.com, Semarang Jawa Tengah – Dilihat dari cara berfikir konstruktivis ala Pieter L Berger, bahwa setiap orang yang menelaah pesan yang diterimanya , bahkan yang diucapkannya, maka kebenarannya hanya ada menurutnya. Bukan menurut orang lain.
Dengan demikian, makna pesan itu bukan terletak pada pesannya tersebut, melainkan ada pada penafsiran orang yang menerima atau menyatakannya.
Karena itu, tidak mengherankan bila ada orang yang menganggap dirinya intelektual, menyampaikan pesan yang khalayak umum menganggap sebagai penghinaan, tetap saja ngeles dengan melakukan pembenaran atau justifikasi, dengan mencari- cari dasar yang membenarkannya, meski sebenarnya sangat tidak logis, utamanya bila dilihat dari konteks saat dia berbicara dan diperkuat dengan simbol paralinguistik yang digunakannya.
Terlebih yang dia hujat itu seorang Presiden yang merupakan simbol negara, meski karena sangat Ber Budi Bowo Leksono nya beliau yang dihina menganggapnya persoalan kecil dan tidak mau melaporkannya kepada yang berwajib, seperti yang pernah dilakukan Presiden sebelumnya.
Persoalannya tidak semua orang berhati mulia seperti Presiden kita saat ini. Sehingga protes serta pelaporan resmi pun banyak dilakukan. Pertanyaannya adalah tidakkah si penghina yang dilaporkan tersebut segera ditindaklanjuti, toh banyak data pendukung lain selain penghinaan? Tidakkah perlu dijaga agar kalangan yang marah tidak akan menggunakan pengadilan jalanan seperti yang sudah banyak terpublikasi melalui medsos?
Etika Komunikasi
Berbicara etika komunikasi itu sangatlah normatif. Namun sebuah pernyataan itu dianggap melanggar etika atau tidak, salah satu indikatornya adalah adakah pihak yang merasa terusik.
Mencermati hal tersebut, maka hinaan seorang yang ngaku akademisi tersebut tentu sangatlah tidak etis.
Protes yang muncul dari berbagai organisasi bahkan berbagai wilayah hampir di seluruh Indonesia, tentu sangatlah pas mengindikasikan kebejatan pernyataannya tersebut.
Di sisi lain, sebagai warga negara Indonesia, setiap orang, siapa pun dia tentu terikat baik dari sisi Etika, Hukum, Undang-Undang, Peraturan, bahkan kesepakatan tidak tertulis, sehingga siapa pun tidak bisa bersikap serta berperilaku seenaknya saja, terlebih bila memanfaatkan media dengan dampak ikutannya.
Terkait itulah, sebaiknya yang berwenang segera menindaklanjutinya. Bila toh tidak bisa menggunakan pasal penghinaan yang memprasyaratkan adanya laporan dari yang merasa dihina, toh masih banyak celah lain yang didasari dari bukti-bukti para pelapor.
Bebas Bertanggungjawab
Sekarang ini banyak yang salah tafsir, bahwa kebebasan itu tanpa batas. Padahal kebebasan itu batasannya adalah tanggungjawab terhadap sikap serta perilakunya, utamanya bila menggunakan media.
Di sisi lain, ada kalangan yang menganggap misalnya UU ITE, UU Penyiaran, UUPers , dll. Itu mengekang kebebasan.
Itu merupakan pandangan yang sangat salah, karena berdasarkan pengalaman tidak pernah ada masalah, selama yang dinyatakannya tersebut tidak menyinggung SARA, Ujaran Kebencian ,serta kata atau kalimat yang tidak pantas.
Bahkan terkait dengan ini, Ki Hajar Dewantara pun menyebut ciri seorang profesional adalah tanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya, termasuk di antaranya menyampaikan pernyataan melalui media.
Akhirnya, sebagian besar masyarakat tentu berharap ditegakkannya hukum serta peraturan yang berlaku terhadap siapa pun, tanpa pandang bulu.
Meski yang berwenang harus bertindak hati- hati seperti pada kasus pimpinan Ponpes di Indramayu yang akhirnya ditindak juga, masyarakat tentu tidak ingin masalah tersebut berkembang liar seperti yang sangat tidak kita harapkan.
Penulis :
Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si
Dosen Tetap Ilmu Komunikasi USM dan Dosen Ilmu Komunikasi Udinus, serta Mantan Ketua Stikom Semarang
Editor : Edy R89